Hudzaifah Ibnul Yaman
Mari kita berkongsi cerita riwayat sahabat-sahabat Nabi saw dan ambil pengajaran dari kata-kata, tingkah-laku dan kerja-buat mereka. Mereka dididik oleh tangan Nabi sendiri dan penghidupan mereka benar-benar mengikut landasan Islam. Mereka miliki roh Islam. Jihad mereka hanya untuk Allah kerana mereka faham perjuangan mereka memungkinkan Islam terus terbina. Sedikitpun mereka tidak menagih bakti dan budi hatta kemewahan. Merekalah pejuang sejati yang tidak pernah mengenal susah dan payah. Buat permulaan kita kenali tokoh ini yang bernama Hudzaifah ibnul Yaman. Berkaca mataku bila mengenang dan menghayati kisah beliau ini……
Penduduk Kota Madinah berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan wakil negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu’minin Umar ra. Mereka pergi menyambutnya, kerana lamalah sudah hati mereka rindu untuk bertemu muka dengan sahabat Nabi saw yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai kesolihan dan ketaqwaannya. Begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak.
Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri. Ia mengenderai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua kakinya teruntai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam sedang mulutnya sedang mengunyah.
Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang itu tidak lain adalah Hudzaifah ibnul Yaman, maka mereka jadi bingung dan hampir-hampir tak percaya Tetapi apa yang akan diherankan? Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar ra, hal itu dapat difahami, kerana baik di masa kerajaan Parsi yang terkenal itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia ini.
Hudzaifah ra meneruskan perjalanan sedang orang-orang berkerumun dan mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya: “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!”
Ujar mereka: “Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah”. Ujarnya: “Pintu-rumah para pembesar. Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan.”
Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jubkan. Dari ucapan yang mereka dengar dari wakil negeri yang baru ini, orang-orang segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang apa saja yang terdapat di dunia ini, begitu pun yang lebih hina dalam pandangan matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri baru ini, serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.
Hudzaifah ibnu Yaman ra memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi’at istimewa. Antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan, dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekalipun.
Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah saw dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia menganutnya itu secara teguh dan suci, serta lurus dan gagah berani, dan dipandangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina.
Ia terdidik ditangan Rasulullah saw dengan kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya subuh, hingga tak suatu pun dari persoalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahsia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang benar dan jujur, mencintai orang-orang yang teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya, orang-orang pandai bermuka dua.
Ia bergaul dengan Rasulullah saw dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudzaifah ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pangkuan Agama Islam, di hadapan Rasulullah saw dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari sahabat-sahabat Rasulullah saw.
Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan, hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahsia-rahsia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam.
Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya, hingga Amirul Mu’minin Umar ra yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga menggunakan pendapat Hudzaifah ra, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka.
Sungguh Hudzaifah ra telah dikurniakan fikiran jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu adalah yang jelas dan nyata, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek ialah yang gelap atau samar-samar, dan kerana itu orang yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah Hudzaifah ra terus-menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafiq. Berkatalah ia:
“Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, kerana takut akan terlibat di dalamnya.
Pernah kubertanya: ”Wahai Rasulullah saw, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?” “ Ada” ujar Rasulullah saw. “Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?’: tanyaku pula. “Memang, tetapi kabur dan bahaya .”. “Apa bahaya itu?” “Yaitu segolongan umat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.” “Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkah ada lagi kejahatan?” tanyaku pula.
“Masih,” ujar Nabi saw, “Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka.”
Lalu kutanyakan kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?” Ujar Rasulullah saw: ‘Senantiasa mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin dan pemimpin mereka.”
“Bagaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin?” “Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walaupun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian!”
Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya: “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan , kerana takut akan terlibat di dalamnya?”
Hudzaifah ibnu Yaman ra menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba situasi.
Semua masalah itu diolah dan digaul dengan sempurna dalam akal pikirannya lalu dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘arif dan bijaksana.
Berkatalah ia:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad saw. Maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati. Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan yang durjana. Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq.
Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya tanpa mengikut sertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq. Dan ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq. Dan ada pula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa.”
Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya: “Hati itu ada empat macam:
1. Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir.
2. Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq.
3. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman.
4. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan.
Perumpamaan keimanan itu adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang.”
Pengalaman Hudzaifah ternyata luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya:
“Saya datang menemui Rasulullah saw, kataku padanya: Wahai Rasulullah saw, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khuatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka. Maka ujar Rasulullah saw : Kenapa kamu tidak beristighfar. Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.
Nah, inilah dia Hudzaifah ra musuh kemunafikan dan sahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudzaifah ra, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang telah beragama Islam tewas di Perang Uhud, dan di tangan pejuangIslam sendiri, yang melakukan kekhilafan kerana menyangkanya sebagai orang musyrik.
Hudzaifah ra melihat dari jauh pedang sedang dihunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak: “ayahku.. ayahku.. jangan ia ayahku.” Tetapi qadha Allah telah tiba. Dan ketika kaum Muslimin mengetahui hal itu, mereka pun diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya: “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya. Akhirnya peperangan pun tamat dan berita tersebut sampai ke telinga Rasulullah saw . Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda Hudzaifah ra (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudzaifah ra dan disuruh membagikannya kepada Kaum Muslimin. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah saw terhadap dirinya.
Keimanan dan kecintaan Hudzaifah ra tidak kenal lelah dan lemah, bahkan juga tidak kenal mustahil. Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi, Rasulullah saw bermaksud hendak mengetahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin taufan dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak di tempatnya. Dan suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para sahabat Rasulullah saw.
Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apa pun kekuatan itu yang berani berjalan ke tengah-tengah perkhemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka?
Maka Rasulullah saw memilih di antara para sahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini! Dan tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah dia Hudzaifah ibnu Yaman ra.
Ia dipanggil oleh Rasulullah saw untuk melakukan tugas, dan dengan patuh dipenuhinya. Dan sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya.Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya.
Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan timpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.
Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudzaifah ra malam itu, amat mena’jubkan sekali! Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara kedua perkhemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu secara diam-diam menyelinap ke perkhemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah memadamkan alat-alat penerangan pihak lawan hingga mereka berada dalam gelap gulita, sementara Hudzaifah ra telah mengambil tempat di tengah-tengah parajurit musuh itu.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum Muslimin untuk menyusup ke perkhemahan mereka. Maka ia pun berdirilah untuk memperingatkan anak buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudzaifah ra dan bunyinya sebagai berikut:
“Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya.”
Kata Hudzaifah ra: “Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya: “Siapa kamu ini?” Ujarnya: “Si Anu anak si Anu.”
Demikianlah Hudzaifah ra mengamankan kehadirannya di kalangan tentera musuh itu hingga selamat.
Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tenteranya, katanya: “Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda kita telah binasa.,demikian juga halnya unta. Bani Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai; periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan khemah-khemah berantakan. Maka berangkatlah kalian saya pun akan berangkat.” Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tenteranya.
Kata Hudzaifah ra: “Kalau tidaklah pesan Rasulullah saw kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah.”
Hudzaifah ra kembali kepada Rasulullah saw dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan berita gembira itu.
Barangsiapa yang pernah bertemu muka dengan Hudzaifah ra, dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta ketekunannya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan mengharapkan daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran.
Tetapi anehnya dalam bidang ini pun Hudzaifah ra melenyapkan segala dugaan itu. Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi tentera berhala dan pembela kesesatan.
Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh terpenting pada pembebasan seluruh wilayah Iraq. Kota-kota Hamdan, Rai dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudzaifah ra.
Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Parsi berhasil menghimpun 150 ribu tentera, Amirul Mu’minin Umar memilih sebagai panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudzaifah ra dikirimnya surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentera Kufah.
Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya:”Jika Kaum Muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Nu’man bin Muqarrin.
Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudzaifah ra, dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah.”
Amirul Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujub orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentera secara berurutan.
Dan kedua pasukan pun berhadapanlah. pasukan Parsi dengan 150 ribu tentera, sedang kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang terdahsyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah. Pedang, tombak dan anak panah berselirat di padang tempur. Sungguh pertempuran di Nahawand cukup sengit!
Panglima besar kaum Muslimin gugur sebagai syahid Nu’man bin Muqarrin tewaslah sudah.. Tetapi sebelum bendera kaum Muslimin menyentuh tanah, panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin kemenangan pun meniup dan menggiring tentera maju ke muka dengan semangat penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang baru itu tiada lain adalah Hudzaifah ibnul Yaman ra. Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya agar kematian Nu’man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentuan. Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan kepadanya. Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu hanya beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat, kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan:
“Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya. Allah Akbar, telah dibela-Nya tentera-Nya” Lalu diputarlah kekang kudanya ke arab anak buahnya, dan berseru: “Hai umat Muhammad saw, pintu-pintu surga telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lebih lama! Ayuhlah wahai pahlawan-pahlawan Badar. Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk.”
Dengan ucapan-ucapannya itu Hudzaifah ra telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tak dapat dikatakan telah menambah dan melipat gandakannya.
Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya
Dialah seorang pahlawan di bidang hikmat, ketika sedang tenggelam dalam renungan. Seorang pahlawan di medan juang, ketika berada di medan laga. Pendeknya ia seorang tokoh, dalam urusan apa juga yang dipikulkan atas pundaknya, dalam setiap persoalan yang membutuhkan pertimbangannya.
Maka tatkala kaum Muslimin di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash ra hendak pindah dari Madain ke Kufah dan bermukim di sana, yakni setelah keadaan iklim kota Madain membawa akibat buruk terhadap kaum Muslimin dari golongan Arab, menyebabkan Umar menitahkan Sa’ad segera meninggalkan kota itu setelah menyelidiki suatu daerah yang paling cocok sebagai tempat pemukiman kaum Muslimin, maka siapakah dia yang diserahi tugas untuk memilih tempat dan daerah tersebut. ? Itulah dia Hudzaifah ibnul Yaman ra, yang pergi bersama Salman bin Ziad guna menyelidiki lokasi yang tepat bagi pemukiman baru itu. Tatkala mereka sampai di Kufah, yang ternyata merupakan tanah kosong yang berpasir dan berbatu-batu, pernafasan Hudzaifah ra menghirup udara segar, maka ia berkata kepada sahabatnya: “Di sinilah tempat pemukiman itu insya Allah”
Demikianlah diatur rencana pembangunan kota Kufah, yang oleh ahli bangunan diwujudkan menjadi sebuah kota yang permai. Dan baru saja kaum Muslimin pindah ke sana, maka yang sakit segera sembuh, yang lemah menjadi kuat, dan urat-urat mereka berdenyutan menyebarkan arus kesehatan.
Sungguh, Hudzaifah adalah seorang yang berfikiran cerdas dan berpengalaman luas, kepada kaum Muslimin selalu dipesankannya: “Tidaklah termasuk yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat, dan tidak pula yang meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia. tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari kedua-duanya.”
Pada suatu hari di antara hari-hari yang datang silih berganti dalam tahun 36 Hijriah, Hudzaifah ra mendapat panggilan menghadap Ilahi. Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa orang sahabatnya. Maka ditanyakannya kepada mereka : “Apakah tuan-tuan membawa kain kafan?”
“Ada”, ujar mereka.
“Coba lihat”, kata Hudzaifah ra pula.
Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah pada kedua bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, lain katanya: “Kain kafan ini tidak cocok bagiku.
Cukuplah bagiku dua helai kain putih tanpa baju.
Tidak lama aku akan berada dalam kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau dengan yang lebih jelek .
Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat dan sewaktu didengarkan oleh hadirin dengan mendekatkan telinga mereka, kedengaranlah ucapannya:
“Selamat datang, wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia tak ada keluh atau sesalku.”
Ketika itu naiklah membumbung ke hadlirat Ilahi, ruh suci di antara arwah para solihin, ruh yang cemerlang, taqwa, tunduk dan berbakti.