Selasa, 27 Oktober 2009

Ilmu Syathariyah, Nubuwah dan Zikir

Dengan senantiasa memohon bimbingan-Nya, petunjuk-Nya, berkah dan rahmat-Nya serta ridha dan maghfirah-Nya, risalah tentang Ilmu Syathariyah, Nubuwah dan Zikir ini dimaksud untuk memperjelas hubungan antara ketiganya.

Di dalam Kitab Futuhati al-uluhiyyah dijelaskan oleh para Wasithah asal kata Syathariyah adalah: Thariqu as-saairiina ilallah ahum Asy-Syathar min ahli muhibbah ilallah; wa haadza ath-thariqu mabniyyun ‘ala salamti al-mauti liqaulihi Ta’ala walaa tamuutunna illa wa antum muslimun wa bi al iradati li khabrin muutu qabla antamuutu.

Maksudnya adalah bahwa Ilmu Syathariyah ini adalah ilmunya orang-orang yang dengan bersama-sama menempuh jalan menuju kepada Allah sehingga sampai bertemu dengan-Nya. Mereka adalah Asy-Syathar erti adalah orang-orang yang ahli di dalam mencintai Allah. Dan ini adalah satu-satunya jalan yang tetap untuk selamatnya mati guna memenuhi amanah Allah: janganlah kamu semua mati kecuali mati selamat yang dengan rasa damai dan bahagia bertemu dengan-Nya.

Juga memenuhi perintah Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya: “(belajar) matilah kamu semua sebelum mati”, (supaya mengalami rasanya mati yang sebenar sebagaimana wafatnya para kekasih Allah). Yaitu mati dalam keadaan: “Wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbiha naadzirah”. Wajah-wajah mereka (orang-orang yang matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu Tuhannya) di hari itu wajahnya berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat (dengan mata hati). (QS. Al-Qiyamah: 22-23).

Itulah sebabnya ilmu yang menunjukkan “pintunya mati” supaya selamat bertemu Tuhan dan merasakan bahagianya hidup kekal dengan-Nya di hari akhir, disebut Ilmu Syathariyah. Adalah mati yang “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin muqtadirin” (QS. Al Qamar: 55). Ketika mati yang pasti ditemui dan hanya sekali dirasakan, kembali di dalam tempat yang benar (lalu merasakan betapa bahagia hidup kekal dengan Yang Maha Kekal) di sisi DIA Yang Maha Berkuasa.

Pintunya mati itu oleh Allah ditempatkan di dalam rasa. Dan rasa adalah dasar manusia. Rasa ditempatkan Allah di dalam arwah. Arwah ditempatkan di dalam hati nurani yang dibungkus oleh wujudnya jiwaraga.

Oleh karena mati yang selamat itu kembali kepada Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb, maka pintunya mati adalah menunjukkan dengan metode tunjuk oleh yang berhak dan sah menunjuki (ahli zikir) mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb lalu menjadi hamba Allah yang secara benar memenuhi syarat pertama menjadi muttaqin. Yaitu alladziina yu’minuuna bi al-Ghaybi.

Sebagaimana diketahui bahwa Kitabullah (Al-Qur’an) 30 juz jumlahnya, tidak ada keraguan di dalamnya adalah hidayah bagi muttaqin. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb (syarat pertama menjadi muttaqin).

Al-Ghayb itu al-nya ma’rifah dan Ghaybun-nya mufrad, satu, esa. Yakni satu-satuNya Ada dan WujudNya Dzat Yang Allah namaNya tetapi Ghayb, karena sama sekali tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi; tidak dapat dilihat dengan mata kepala.

Al-nya ma’rifah. Maksudnya jelas. Jelas wajib wujud-Nya. Jelas sangat dekat sekali. Jelas meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya. Karena itu jelas mudah diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati, apabila rela meminta petunjuk kepada ahlinya (ahli zikir).

Adapun yang sama-sama tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi bukan Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb, di dalam firman-firmanNya Allah memberi sebutan al-ghuyuub. Beberapa hal yang dibangsakan ghayb karena sama-sama tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Seperti ghaibnya hati nurani, roh, rasa, para Malaikat-Nya, syurga, neraka, jin, syaitan, dan sebagainya.
LUBANG CAHAYA.

Di dalam QS. Al Maidah ayat 48 firman Allah menyatakan adanya lubang cahaya (minhajan).

Likulli ja’alna minkum syir’atan wa minhajan. Bagi tiap-tiap umat di antara kamu, Kami jadikan syir’atan (aturan lahir) dan minhajan (lubang cahaya di dalam batin [di dalam rasa]).

Di dalam kamus tasawuf minhajan itu lubang cahaya. Sedang kalau yang dimaksud jalan terang adalah manhaajun.

Lubang cahaya itu adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al-Ghayb Yang mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya, yang Cahaya dengan Dzat-Nya Allah bagaikan kertas dan putihnya atau bagaikan sifat dan maushuf. Atau bagaikan ombak dan samuderanya (lautnya). Maksudnya kekal menyatu menjadi satu.

Mengenal dan mengetahui adanya lubang yang isinya adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah dari yang berhak dan sah menunjuki (ahli zikir) di dalam rasa sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya sendiri yang dicipta oleh Allah dari Fitrah-Nya. Sebagaimana maksud firman Allah dalam QS. Ar Ruum ayat 30:

Fithratallahi allati fatharannaasa ‘alaiha. Bahwa Fitrah Allah-lah yang telah menciptakan fitrah jati diri manusia dari Fitrah-Nya Allah sendiri. Tidak ada perubahan bagi penciptaan Allah bahwa fitrahnya manusia dicipta Allah dari Fitrah-Nya. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Ar Ruum: 30).

Mengenal dan mengetahui Nur Muhammad di dalam rasa oleh yang berhak dan sah menunjuki sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb. Adalah “titik temunya” fitrah jati diri manusia dengan tempat asal dicipta oleh Allah, sehingga “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, adalah hal yang nyata terasa di dalam rasa hati.

Dan inilah yang dikehendaki dengan Ilmu Nubuwah. Sebagaimana maksud firman Allah di dalam QS. Al An’am ayat 20 bahwa orang-orang yang telah diberi kitab, maksudnya kitabun maknun, Kitab yang terpelihara (lauh mahfudz) yang di QS. Al Waqi’ah ayat 79 difirmankan Allah tidak akan dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah.

Orang-orang yang telah diberi kitab seperti itu mengenal Nur Muhammad seperti mereka mengenali anak-anaknya sendiri. Alladziina khasiruu anfusahum fahum laa yu’minuuna. Orang-orang yang merugikan dirinya sendiri (karena tidak mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya yang dicipta Allah dari Fitrah-Nya Allah sendiri yang disimpan Allah di dalam rasa hati), mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman (kepada Allah). (QS. Al An’am: 20).

Firman Allah di dalam QS. Al Hadid ayat 13 dijelaskan bahwa Allah menjadikan dinding. Dimaksud dinding adalah diri manusia, yaitu wujudnya jiwa raga. Lahu baabun. Dinding ini mempunyai pintu. Baathinuhu fiihi al rahmatu. Di dalam batinnya adalah rahmat (Nya Allah Swt). Yaitu Nur Muhammad, tempat bertemunya fitrah jati diri manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt. Wa dzahiruhu min qibalihi al-‘adzab. Dan pada bagian lahirnya adalah azab. Adalah hidup yang hanya menuruti kemauan lahir karena hanya habis diperalat nafsu dan watak akunya.

Menjalani hidup dan kehidupan berjiwaraga yang diuji Allah dalam kehidupan dunia yang hanya habis menuruti bagian lahir hingga sama sekali tidak akan samasekali mengadanya rahmat-Nya Allah di dalam batinnya (di dalam rasanya), sama artinya di dalam rasa tidak ada lubang cahaya karena lubang cahaya ini telah benar-benar ditutup oleh gelapnya nafsu yang sama artinya dengan azab, sewaktu-waktu mati yang pasti ditemui dan hanya sekali, dijelaskan Allah dalam QS. Saba’ ayat 51 s/d 54 yang arti dan maksudnya sebagai berikut:

Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang yang di dalam rasa hatinya tidak ada Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah [Nur Muhammad]), terperanjat ketakutan (pada saat mati yang ditemuinya); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (oleh iblis / syaitan dibawa ke tempat sesat selama-lamanya),dan di saat itu mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimana mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh.

Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari-Nya sebelum itu (ketika masih di dunia); dan (sebabnya) mereka hanya menduga-duga saja mengenai Al-Ghayb dari tempat yang jauh.

Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (ingin kembali ke dunia membetulkan salahnya) sebagaimana yang dilakukan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (ketika masih di dunia) dalam keraguan yang mendalam.

Karena itulah mengapa syarat pertama menjadi muttaqin adalah orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb, mengapa tidak yu’minuuna billaahi.

Sebab Allah adalah nama. Nama-Nya Dzat Yang Al-Ghayb. Dan Yang menciptakan alam dengan segala isinya serta Maha Pencipta manfaat dan mudharat bukanlah nama-Nya. Tetapi Dzat-Nya. Dan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini: Al-Ghayb. Innani Ana Allah (QS. Thaha: 14). Sesungguhnya Aku ini (Dzat Al-Ghayb) yaitulah Aku Yang Allah (nama-Ku).

“Tahulah jin-jin itu bahwa kalaulah sekiranya mereka mengetahui AL-Ghayb tentulah mereka tidak tetap di dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’: 14).

Apakah kita mau menerima nasib seperti nasibnya jin yang celaka itu?

“Apakah ia mempunyai ilmu Al-Ghayb, maka dia dapat melihat (dengan mata hati mengenai Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb) (= a’indahu ‘ilmu al Ghayb fahuwa yaraa (QS. an Najm 35). Dan apakah mereka mempunyai Al-Ghayb lalu mereka berani menulis (= am ’indahumu al-Ghaybu fahum yaktubuuna). (QS. al Qalam: 47).

ZIKIR.

Perintah Allah dengan firman-Nya dalam QS. al A’raf ayat 205 yang arti dan maksudnya:

“Dan (ingatlah Rabbmu di dalam dirimu (di dalam rasa hatimu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan (cara mengingat-ingat-Nya) tidak dengan melahirkan dengan kata-kata (tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati), di sepanjang pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

Yang dizikiri (diingat-ingat dalam rasa hati) adalah Yang empu-Nya nama Allah. Yaitu Al-Ghayb. Dzatullah Yang Mutlak Wujud-Nya (tetapi) AL-Ghayb. Yang dekatnya lebih dekat Dia Dzat Yang Al-Ghayb ini meskipun dibandingkan dengan putihnya mata dan hitamnya mata si hamba (hadits Qudsi). Bahkan lebih dekat Dia meskipun dibandingkan dengan urat nadi (urat mareh) yang ada di lehernya hamba (Firman Allah dalam QS. Qaaf: 16). Tidak ada yang menutupi Ada dan Wujud-Nya Yang Al-Ghayb itu melainkan adalah jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud. Dan jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud (sebab sebenarnya tidak wujud) dicipta Allah dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap kehendak Allah dan semua perintah-Nya). (QS. Yasin: 77; dll). Karena itu wadzahiruhu min qibalihi al-‘azab. (QS. Al Hadid: 13).

Inna nahnu nazzalna az zikra wa inna lahu lahaafidzuuna (QS. Al-Hijr: 9). Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan zikir dan Kami pulalah yang menjaganya.

Di dalam QS. Shaad ayat 1 dan 2 Allah berfirman: Demi Al-Qur’an yang mempunyai zikir. Tetapi bagi orang-orang yang tidak percaya dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.

Di dalam Kitab Ma’na Sirr fi bayani ma’rifat billah, Allah berfirman di dalam dada Al-Ghauts: Maka senantiasa zikirilah Diri-Ku niscaya Aku (juga akan) selalu ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kamu mengingkari (Ada dan Wujud-Nya Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu). Ana jalisun man zakarani. Aku selalu duduk berhadap-hadapan dengan orang-orang yang menzikiri-Ku. Dan tidak ada suatu kaum yang duduk-duduk dalam sebuah majlis kemudian mereka semua pergi dan sama sekali tidak ada yang menzikiri-Ku adalah bagaikan perginya kaum dari bangkainya himar.

Dan seseorang hamba yang tidak menzikiri Aku di dalam rumahnya di atas bumi milik-Ku, melainkan disaksikan oleh bumi, di hadapan Allah, bumi itu menangisi seseorang hamba yang demikian halnya itu pada hari kematiannya.

“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lalai mengingat-ingat (Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu Yang) Allah (nama-Ku), mereka itulah golongan syaitan” (QS. Al Mujadilah : 19).

BUNYINYA ZIKIR YANG DAPAT DIDENGAR TELINGA

ADALAH HUW-HUW-HUW.

Huw yang wawu di dhammah adalah bunyinya rasa. Adalah Huwiyatu ar Rabbi. Huw yang isinya adalah Rabb (yang dibisikkan lewat telinga kiri sebagaimana yang dilakukan Junjungan Nabi Muhammad SAW ketika membai’at Sayidina Ali Bin Abu Thalib serta para ahlul baitnya).

Huw ini sebenarnya telah ada di dalam surat Al-Ikhlas. Qul Huwa Allahu Ahad.

Qul adalah fiil amar. Artinya perintah yang berlaku sekarang. Huwa adalah dhamir. Artinya sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati mengenai Huwa (mengenai Dia), yakni Allah, adalah satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya tetapi Al-Ghayb.

“Qul innama huwa ilaahun waahidun, wa innani bariun mimma tusyrikuuna” (QS. Al An’am: 19).

Katakanlah bahwa sesungguhnya Huwa (huwiyatu ar Rabbi) adalah ilaahun waahid. Dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).

“Faqul hasbiyallahu laailaaha illa huwa…” (QS. At Taubah: 129).
Arti dan maksudnya: Maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Huwa (huwiyatu ar Rabbi)….”.

Di dalam QS. Fathir ayat 15 Allah berfirman: Yaa ayyuhannasu antumu al-fuqaraau illallah, wallahu Huwa al-ghaniyyu al-hamiidu.

Wahai manusia kamu semua adalah al-faqir (hina, nista, bodoh tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak ada apa-apa dan bahkan tidak ada apa-apanya, karena itu seharusnya kamu semua) berkehendak kepada Allah. Wallahu Huwa adalah mubtada’ dan khabar. Maksudnya Allah itu adalah Huwa (yang tersimpan di dalam rasa hati). Dialah Dzat Yang Maha Kaya Raya, tidak kurang suatu apa dan Maha Terpuji.

Oleh karena itu dengan tegas sekali Allah berfirman dalam QS. Al Isra’ ayat 72: Waman kaana fii hadzihi a’ma fahuwa fi al-akhirati a’ma wa adhallu sabiila.

Dan barang siapa yang di dunia sekarang ini buta (mata hatinya tidak mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya Yang sangat dekat sekali (di dalam rasa hati, meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya) maka di akherat juga buta (mata hatinya) dan lebih sesat jalannya.

Aku kutip dan edit sedikit dari blog PondokSufi. Maaf dan jutaan terima kasih.

Jumaat, 23 Oktober 2009

Ilmu Anugerah Allah

Penguasaan manusia tentang ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama (akhirat) tetapi juga mencakupi ilmu-ilmu lain yang bersifat keduniaan. Pada dasarnya semua ilmu yang ada pada makhluk yang dijeniskan manusia adalah milik Allah jua sehingga tidak sukar bagi Allah swt untuk menganugerah segala macam ilmu tersebut. Kekadang ilmu itu perlu dicari, dipelajari dan digali hatta melibatkan wang-ringgit, jarak masa dan waktu. Kekadang pula ilmu itu dengan mudah diperolehi tanpa perlu dicari, dipelajari ataa digali. Inilah ilmu anugerah Allah swt yang hanya diperolehi oleh insan pilihanNYA.


Ramai ulama-ulama terdahulu dianugerahkan Allah akan ilmuNYA dan dengan ilmu tersebut mereka menulis kitab-kitab muktabar yang hingga kini masih diajari kerana ketinggian isi ilmu tersebut. Mereka menulis kitab-kitab bukan hanya berkisar pada hukum-hakam yang disebut ilmu fekah bahkan menjangkau pada ilmu-ilmu yang tinggi dan mendalam yang sukar difahami yang memerlukan guru untuk ditafsir untuk mencapai tahap ilmunya. Ilmu-ilmu tersebut menjirus kepada ilmu tasawwuf, hakekat dan makrifat. Contoh seperti kitab Al-Hikam oleh Ibnu Atailah dan banyak lagi oleh ulamak-ulama lain seperti Imam AlGhazali dan sebagainya.


Begitu juga dengan ulama nusantara seperti Syeikh Daud Fathani, Syeikh Arshad Albanjari, Syeikh Abdul Samad Falimbani, Syeikh Muhammad Nafis, Syeikh Abd Rauf Singkli, Hamzah Fansuri dan ramai lagi ulama terbelakang dari mereka. Sesatkah taraf dan tahap keilmuanan mereka dalam menghabiskan masa mengarang kitab-kitab tertentu untuk syiar islami ketika itu? Kemudian ramai dari mereka dituduh sesat pulak, menyeleweng dan sebagainya oleh orang-orang tertentu yang mengaku bijak pandai dalam halehwal agama masakini. Bolehkah yang menuduh itu berbuat satu kitab seumpama mereka?...Jangan hanya tau mencari kesalahan orang atau tidak faham maksud tersirat disebalik zohir ayat yang memerlukan kupasan yang mendalam sesuatu permasaalahan itu. Siapa yang sesat sebenarnya???


Mengapa jadi demikian?


Jawabnya kerana yang tiada merasa sesuatu itu tidak akan tahu sesuatu, maka sesuatu yang tidak tahu bukan dicari atau dipelajari hanya dicapkan atau dituduh sahaja dengan kata-kata :


Bidaah
Zindik


Allah berfirman : “Apa yang Aku beri ilmu itu hanya sedikit.” Lantas dari itu Nabi saw berkata “ Carilah ilmu walaupun ke negeri China sekalipun.” Kata-kata tuntut cari ilmu itu adalah dorongan Nabi saw, maka ilmu dunia untuk dunia dan ilmu akhirat untuk akhirat, oleh kerana itu ilmu akhirat itu pokok segala yang penting pada manusia. Ilmu dunia adalah cabang, dahan, bunga dan buah. Maka tidak ada bunga dan buah sekiranya tidak ada pokok. Seluas-luas dan setinggi manapun ilmu dunia tidak akan memberi kesan di akhirat dan tidak memberi pertolongan juga di akhirat. Dan adapun kitab-kitab karangan ulama-ulama pun semuanya berkisar pada ilmu akhirat yang ilmu mereka diperolehi dari titik peloh mereka sendiri belajar, mengaji, berguru dan mengembara mencari ilmu juga anugerah Allah pada mereka. Mereka telah melepasi “rasa” ilmu itu dan mana mungkin mereka mereka-reka untuk menyesatkan orangramai.


Anggota mulut yang dianugerah Allah bukan hanya untuk bertekak, menuduh dan sebagainya. Akal pemikiran pula bukan hanya untuk mengatakan apa yang benar dan apa yang salah sahaja. Kekadang diam sahaja dengan apa yang kita tahu itu lebih baik. Yakini apa yang kita fahami dan amalkan apa yang kita yakini dan jangan kita lalai melupaiNya walaupun sesaat. Kerana masing-masing akan mati dengan membawa ilmu masing-masing.


Biasanya manusia yang memperhambakan dirinya pada ALLAH ia akan sering difitnah dan diuji untuk mencapai ke sesuatu makam atau mertabat di sis Allah swt. Contoh seperti Almarhum Haji Ahmad Laksamana. Datuknya sendiri Almarhum Tuan Guru Haji Othman Yaakub yang pernah mendapat didikan dari Tok Kenali dan Tok Kemuning, pernah berwasiat padanya seperti yang ada pada buku karangannya Hakekat Insan:


“Bongsu, aku tegaskan padamu apa saja yang ada padaku adalah sama dengan ilmu yang ada pada dadamu, pegangilah ianya walaupun sejuta manusia menuduh kamu kafir, gila dan fasik, sesungguhnya ilmumu dan ilmuku adalah benar.”


Secara umumnya ilmu Allah terbagi dalam tiga kelompok yaitu (a) ilmu kalam; (b) ilmu ghaib, dan; (c) ilmu syahadah.


Berkaitan dengan ilmu kalam, Al-Quran dalam Surah Al Alaq ayat 3-5 menerangkan “Bacalah bahwa Tuhanmu Amat Pemurah yang mengajar kamu dengan (ilmu) kalam dan Tuhanmu mengajar kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya”.


Sedang mengenai ilmu ghaib dan ilmu syahadah diterangkan dalam Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 22 yang bermaksud “Dialah Allah, yang tiada tuhan kecuali Dia, Mengetahui yang (ilmu) ghaib dan (ilmu)syahadah. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.


Dalam bukunya Hakikat Insan, Haji Ahmad Laksamana bin Omar menerangkan pengertian masing-masing ilmu tersebut sebagai berikut:


Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang dipelajari oleh manusia biasa bagi tujuan untuk   memahami sesuatu di alam ini. Ilmu tersebut difahami dan diterima oleh pancaindera kita yang   tujuh. Ilmu kalam diajar di sekolah secara formal atau informal dalam masyarakat dan makhluk   manusia dalam kehidupan sehari-hari.


Ilmu ghaib adalah merupakan suatu ilmu yang dapat menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh ilmu kalam. Ilmu ghaib hanya dapat diajar sepenuhnya oleh guru ghaib(batin) dan tidak dapat diajarkan oleh guru zahir. Biasanya guru ghaib (batin) yang mengajarkan ilmu ghaib ini adalah terdiri dari wali-wali Allah, para nabi dan rasul-rasul. Ilmu ghaib biasanya hanya diajar dan diperoleh oleh orang-orang tertentu saja yaitu orang-orang yang dianugerahkan oleh Allah untuk menerimanya atau kepada orang-orang yang sedang menjalani jalan hakekat dan makrifat melalui jalan tasawuf atau sufi. Ilmu ghaib adalah suatu ilmu yang pengetahuannnya amat luas sekali sehingga tidak tercapai oleh daya pemikiran manusia. Daya pengetahuan ilmu ini adalah terlampau amat luas. Baik dibidang dunia, alam ghaib dan di semua bidang-bidang yang berkaitan dengan ketuhanan dan diri manusia. Pendek kata ilmu ghaib ini adalah suatu ilmu yang meliputi alam shoghir atau alam kabir.


Ilmu syahadah adalah suatu ilmu yang paling tinggi didalam tingakatan pelajaran ilmu Allah yang dapat dikuasi oleh manusia. Ia merupakan martabat ilmu yang tertinggi. Ilmu ini adalah suatu ilmu makrifat dan syahadah secara sebenar-benar kepada Allah swt. Ilmu ini, Tuhan sendiri akan mengajar manusia mengenai diriNya. Dengan lain perkataan bolehlah ditegaskan disini bahwa ilmu syahadah adalah ilmu untuk menyatakan diri Allah itu sendiri. Hanya orang-orang yang mencapai martabat ilmu ghaib yang paling tinggi saja yang dapat menguasai ilmu syahadah ini.


Jika ilmu qalam diajar guru zahir dan ilmu ghaib diajar oleh guru-guru ghaib maka ilmu syahadah hanya boleh diajar oleh guru batin saja yaitu diri batin kita sendiri yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Dengan lain perkataan Tuhan sajalah yang mengajar diri kita akan rahasia ilmu ini.


Memang hanya orang-orang pilihanNYA yang dapat mencapai tingkat penguasaan ilmu yang demikian. Sebab untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut (ilmu ghaib) seseorang perlu menyucikan jiwanya dengan mengamalkan kaedah-kaedah tarekat. Yaitu jalan menuju kepada Allah SWT dan dengan cara jalan mengenal diri mengikut kaedah-kaedah tasawuf atau jalan-jalan orang sufi. Orang yang mencapai tingkat ilmu seperti itu terlebih dahulu telah membersihkan diri dan jiwa raganya. Makin suci hati seseorang itu dengan Allah semakin tinggilah tahap penerimaan ilmu ghaib ini. Sebagaimana firman Allah dalam AlQuran, Surah Attaghaabun ayat 11 yang bermaksud: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui setiap sesuatu”.


Penguasaan ilmu yang sedemikian luas dan mendalam tersebut InsyaAllah terjadi bagi siapapun yang telah sampai makrifah kepada Allah. Sebagaimana perkataan Arifin Billah:


“Barang siapa yang telah mengenal Allah, maka tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi baginya”


Allah akan memberikan anugerah kepada mereka Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang diilhamkan oleh Allah kedalam hati hambanya dengan tanpa perantaraan. Ilmu ini akan tetap bersemayam, tidak akan hilang dan tidak akan lupa.


Menurut Abu Yazid Al Busthami dan para masayikh lainnya, orang yang mempunyai ilmu yang demikian itu adalah orang yang alim sebenarnya. Bukannya orang yang alim itu adalah orang yang proses mendapatkan ilmunya dengan cara menghafal dari kitab-kitab, apabila yang dihafalkan lupa, maka dia bodoh dan tidak mengerti. Sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang mengambil ilmunya langsung dari Tuhannya, pada waktu yang dikehendaki dengan tiada sebab menghafalkan dan belajar, maka orang yang demikian itu di sebut Al-Alim Al-Robbany. Sebagaimana telah diisyaratkan didalam firman Allah dalam Al Qur’an:


 “Kami telah memberikan pengetahuan (kepadanya) berupa ilmu dari sisi-Ku”


Maksudnya adalah tanpa wasitoh (perantaraan) apapun dalam mendapatkan ilmu. Apabila dalam mendapatkan ilmu dengan proses belajar kepada makhluk, maka tidak disebut ilmu ladunni. Karena ilmu ladunni itu terbuka di dalam sir hati tanpa ada sebab yang menghasilkan dalam kenyataannya.


Adapun pada maqam ini, akan melihat segala hal baik yang dlahir maupun yang batin, dan akan terbuka segala hakikat sesuatu dengan cahaya yang nyata yang telah dianugerahkan Allah, tiada terlindung seberat zarrah pun segala alam ini dengan sesuatu yang sesuai dengan keadaannya, dan sesuai anugerah Allah yang diberikan kepadanya. Yang demikian itu, tidak dapat dicari dan tidak dapat dikehendaki oleh siapapun, seperti penjelasan dalam Al Qur’an:


 “Sekalian kami anugerahi mereka dan mereka mendapatkan dari pemberian Tuhanmu, dan pemberian Tuhanmu tiada terhalang”


Dan pada maqam ini, mereka mendengar akan segala perintah, baik melalui lidah batin maupun lahir, yaitu khatir di dalam hatinya, baik itu dari tempat yang jauh maupun di balik gunung qaf sekalipun, semua seruan atau perintah dapat didengarnya, karena pendengarannya meliputi alam semesta. Dan diterangkan dalam hadits bahwasanya alam semesta ini ada pada genggaman para Auliya’ seperti telapak kaki jua dengan semata-mata anugerah Allah dan Rahmat-Nya.


Dalam buku Hakikat Insan dijelaskan “Bagi mereka yang dapat menguasai dan menyelami sendiri alam ghaib maka pasti mereka dapat menjelajahi seluruh alam maya. Tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Mereka juga diberi peluang untuk menjelajahi di alam lain termasuk alam ruh, syurga dan neraka, arasy dan kursi Allah swt dan ini bermakna mereka yang sampai ke martabat ini dapat menerokai ke suatu alam yang jauh keluar daripada garis tahap fikiran manusia”.


Sesungguhnya ilmu hakekat dan ilmu makrifat adalah ilmu rasa..
Setakat hendak rasa saja belum cukup…
Mesti nak kena ada rasa dalam rasa itu…
Dan sebenarnya manusia itu tiada rasa…
Hanya Allah lah yang memberi rasa...
Kerana DIA yang punya rasa…