Dengan senantiasa memohon bimbingan-Nya, petunjuk-Nya, berkah dan rahmat-Nya serta ridha dan maghfirah-Nya, risalah tentang Ilmu Syathariyah, Nubuwah dan Zikir ini dimaksud untuk memperjelas hubungan antara ketiganya.
Di dalam Kitab Futuhati al-uluhiyyah dijelaskan oleh para Wasithah asal kata Syathariyah adalah: Thariqu as-saairiina ilallah ahum Asy-Syathar min ahli muhibbah ilallah; wa haadza ath-thariqu mabniyyun ‘ala salamti al-mauti liqaulihi Ta’ala walaa tamuutunna illa wa antum muslimun wa bi al iradati li khabrin muutu qabla antamuutu.
Maksudnya adalah bahwa Ilmu Syathariyah ini adalah ilmunya orang-orang yang dengan bersama-sama menempuh jalan menuju kepada Allah sehingga sampai bertemu dengan-Nya. Mereka adalah Asy-Syathar erti adalah orang-orang yang ahli di dalam mencintai Allah. Dan ini adalah satu-satunya jalan yang tetap untuk selamatnya mati guna memenuhi amanah Allah: janganlah kamu semua mati kecuali mati selamat yang dengan rasa damai dan bahagia bertemu dengan-Nya.
Juga memenuhi perintah Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya: “(belajar) matilah kamu semua sebelum mati”, (supaya mengalami rasanya mati yang sebenar sebagaimana wafatnya para kekasih Allah). Yaitu mati dalam keadaan: “Wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbiha naadzirah”. Wajah-wajah mereka (orang-orang yang matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu Tuhannya) di hari itu wajahnya berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat (dengan mata hati). (QS. Al-Qiyamah: 22-23).
Itulah sebabnya ilmu yang menunjukkan “pintunya mati” supaya selamat bertemu Tuhan dan merasakan bahagianya hidup kekal dengan-Nya di hari akhir, disebut Ilmu Syathariyah. Adalah mati yang “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin muqtadirin” (QS. Al Qamar: 55). Ketika mati yang pasti ditemui dan hanya sekali dirasakan, kembali di dalam tempat yang benar (lalu merasakan betapa bahagia hidup kekal dengan Yang Maha Kekal) di sisi DIA Yang Maha Berkuasa.
Pintunya mati itu oleh Allah ditempatkan di dalam rasa. Dan rasa adalah dasar manusia. Rasa ditempatkan Allah di dalam arwah. Arwah ditempatkan di dalam hati nurani yang dibungkus oleh wujudnya jiwaraga.
Oleh karena mati yang selamat itu kembali kepada Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb, maka pintunya mati adalah menunjukkan dengan metode tunjuk oleh yang berhak dan sah menunjuki (ahli zikir) mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb lalu menjadi hamba Allah yang secara benar memenuhi syarat pertama menjadi muttaqin. Yaitu alladziina yu’minuuna bi al-Ghaybi.
Sebagaimana diketahui bahwa Kitabullah (Al-Qur’an) 30 juz jumlahnya, tidak ada keraguan di dalamnya adalah hidayah bagi muttaqin. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb (syarat pertama menjadi muttaqin).
Al-Ghayb itu al-nya ma’rifah dan Ghaybun-nya mufrad, satu, esa. Yakni satu-satuNya Ada dan WujudNya Dzat Yang Allah namaNya tetapi Ghayb, karena sama sekali tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi; tidak dapat dilihat dengan mata kepala.
Al-nya ma’rifah. Maksudnya jelas. Jelas wajib wujud-Nya. Jelas sangat dekat sekali. Jelas meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya. Karena itu jelas mudah diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati, apabila rela meminta petunjuk kepada ahlinya (ahli zikir).
Adapun yang sama-sama tidak dapat dilihat oleh mata kepala tetapi bukan Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb, di dalam firman-firmanNya Allah memberi sebutan al-ghuyuub. Beberapa hal yang dibangsakan ghayb karena sama-sama tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Seperti ghaibnya hati nurani, roh, rasa, para Malaikat-Nya, syurga, neraka, jin, syaitan, dan sebagainya.
LUBANG CAHAYA.
Di dalam QS. Al Maidah ayat 48 firman Allah menyatakan adanya lubang cahaya (minhajan).
Likulli ja’alna minkum syir’atan wa minhajan. Bagi tiap-tiap umat di antara kamu, Kami jadikan syir’atan (aturan lahir) dan minhajan (lubang cahaya di dalam batin [di dalam rasa]).
Di dalam kamus tasawuf minhajan itu lubang cahaya. Sedang kalau yang dimaksud jalan terang adalah manhaajun.
Lubang cahaya itu adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al-Ghayb Yang mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya, yang Cahaya dengan Dzat-Nya Allah bagaikan kertas dan putihnya atau bagaikan sifat dan maushuf. Atau bagaikan ombak dan samuderanya (lautnya). Maksudnya kekal menyatu menjadi satu.
Mengenal dan mengetahui adanya lubang yang isinya adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah dari yang berhak dan sah menunjuki (ahli zikir) di dalam rasa sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya sendiri yang dicipta oleh Allah dari Fitrah-Nya. Sebagaimana maksud firman Allah dalam QS. Ar Ruum ayat 30:
Fithratallahi allati fatharannaasa ‘alaiha. Bahwa Fitrah Allah-lah yang telah menciptakan fitrah jati diri manusia dari Fitrah-Nya Allah sendiri. Tidak ada perubahan bagi penciptaan Allah bahwa fitrahnya manusia dicipta Allah dari Fitrah-Nya. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Ar Ruum: 30).
Mengenal dan mengetahui Nur Muhammad di dalam rasa oleh yang berhak dan sah menunjuki sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb. Adalah “titik temunya” fitrah jati diri manusia dengan tempat asal dicipta oleh Allah, sehingga “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, adalah hal yang nyata terasa di dalam rasa hati.
Dan inilah yang dikehendaki dengan Ilmu Nubuwah. Sebagaimana maksud firman Allah di dalam QS. Al An’am ayat 20 bahwa orang-orang yang telah diberi kitab, maksudnya kitabun maknun, Kitab yang terpelihara (lauh mahfudz) yang di QS. Al Waqi’ah ayat 79 difirmankan Allah tidak akan dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah.
Orang-orang yang telah diberi kitab seperti itu mengenal Nur Muhammad seperti mereka mengenali anak-anaknya sendiri. Alladziina khasiruu anfusahum fahum laa yu’minuuna. Orang-orang yang merugikan dirinya sendiri (karena tidak mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya yang dicipta Allah dari Fitrah-Nya Allah sendiri yang disimpan Allah di dalam rasa hati), mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman (kepada Allah). (QS. Al An’am: 20).
Firman Allah di dalam QS. Al Hadid ayat 13 dijelaskan bahwa Allah menjadikan dinding. Dimaksud dinding adalah diri manusia, yaitu wujudnya jiwa raga. Lahu baabun. Dinding ini mempunyai pintu. Baathinuhu fiihi al rahmatu. Di dalam batinnya adalah rahmat (Nya Allah Swt). Yaitu Nur Muhammad, tempat bertemunya fitrah jati diri manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt. Wa dzahiruhu min qibalihi al-‘adzab. Dan pada bagian lahirnya adalah azab. Adalah hidup yang hanya menuruti kemauan lahir karena hanya habis diperalat nafsu dan watak akunya.
Menjalani hidup dan kehidupan berjiwaraga yang diuji Allah dalam kehidupan dunia yang hanya habis menuruti bagian lahir hingga sama sekali tidak akan samasekali mengadanya rahmat-Nya Allah di dalam batinnya (di dalam rasanya), sama artinya di dalam rasa tidak ada lubang cahaya karena lubang cahaya ini telah benar-benar ditutup oleh gelapnya nafsu yang sama artinya dengan azab, sewaktu-waktu mati yang pasti ditemui dan hanya sekali, dijelaskan Allah dalam QS. Saba’ ayat 51 s/d 54 yang arti dan maksudnya sebagai berikut:
Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang yang di dalam rasa hatinya tidak ada Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah [Nur Muhammad]), terperanjat ketakutan (pada saat mati yang ditemuinya); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (oleh iblis / syaitan dibawa ke tempat sesat selama-lamanya),dan di saat itu mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimana mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh.
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari-Nya sebelum itu (ketika masih di dunia); dan (sebabnya) mereka hanya menduga-duga saja mengenai Al-Ghayb dari tempat yang jauh.
Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (ingin kembali ke dunia membetulkan salahnya) sebagaimana yang dilakukan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (ketika masih di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Karena itulah mengapa syarat pertama menjadi muttaqin adalah orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb, mengapa tidak yu’minuuna billaahi.
Sebab Allah adalah nama. Nama-Nya Dzat Yang Al-Ghayb. Dan Yang menciptakan alam dengan segala isinya serta Maha Pencipta manfaat dan mudharat bukanlah nama-Nya. Tetapi Dzat-Nya. Dan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini: Al-Ghayb. Innani Ana Allah (QS. Thaha: 14). Sesungguhnya Aku ini (Dzat Al-Ghayb) yaitulah Aku Yang Allah (nama-Ku).
“Tahulah jin-jin itu bahwa kalaulah sekiranya mereka mengetahui AL-Ghayb tentulah mereka tidak tetap di dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’: 14).
Apakah kita mau menerima nasib seperti nasibnya jin yang celaka itu?
“Apakah ia mempunyai ilmu Al-Ghayb, maka dia dapat melihat (dengan mata hati mengenai Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb) (= a’indahu ‘ilmu al Ghayb fahuwa yaraa (QS. an Najm 35). Dan apakah mereka mempunyai Al-Ghayb lalu mereka berani menulis (= am ’indahumu al-Ghaybu fahum yaktubuuna). (QS. al Qalam: 47).
ZIKIR.
Perintah Allah dengan firman-Nya dalam QS. al A’raf ayat 205 yang arti dan maksudnya:
“Dan (ingatlah Rabbmu di dalam dirimu (di dalam rasa hatimu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan (cara mengingat-ingat-Nya) tidak dengan melahirkan dengan kata-kata (tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati), di sepanjang pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Yang dizikiri (diingat-ingat dalam rasa hati) adalah Yang empu-Nya nama Allah. Yaitu Al-Ghayb. Dzatullah Yang Mutlak Wujud-Nya (tetapi) AL-Ghayb. Yang dekatnya lebih dekat Dia Dzat Yang Al-Ghayb ini meskipun dibandingkan dengan putihnya mata dan hitamnya mata si hamba (hadits Qudsi). Bahkan lebih dekat Dia meskipun dibandingkan dengan urat nadi (urat mareh) yang ada di lehernya hamba (Firman Allah dalam QS. Qaaf: 16). Tidak ada yang menutupi Ada dan Wujud-Nya Yang Al-Ghayb itu melainkan adalah jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud. Dan jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud (sebab sebenarnya tidak wujud) dicipta Allah dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap kehendak Allah dan semua perintah-Nya). (QS. Yasin: 77; dll). Karena itu wadzahiruhu min qibalihi al-‘azab. (QS. Al Hadid: 13).
Inna nahnu nazzalna az zikra wa inna lahu lahaafidzuuna (QS. Al-Hijr: 9). Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan zikir dan Kami pulalah yang menjaganya.
Di dalam QS. Shaad ayat 1 dan 2 Allah berfirman: Demi Al-Qur’an yang mempunyai zikir. Tetapi bagi orang-orang yang tidak percaya dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.
Di dalam Kitab Ma’na Sirr fi bayani ma’rifat billah, Allah berfirman di dalam dada Al-Ghauts: Maka senantiasa zikirilah Diri-Ku niscaya Aku (juga akan) selalu ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kamu mengingkari (Ada dan Wujud-Nya Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu). Ana jalisun man zakarani. Aku selalu duduk berhadap-hadapan dengan orang-orang yang menzikiri-Ku. Dan tidak ada suatu kaum yang duduk-duduk dalam sebuah majlis kemudian mereka semua pergi dan sama sekali tidak ada yang menzikiri-Ku adalah bagaikan perginya kaum dari bangkainya himar.
Dan seseorang hamba yang tidak menzikiri Aku di dalam rumahnya di atas bumi milik-Ku, melainkan disaksikan oleh bumi, di hadapan Allah, bumi itu menangisi seseorang hamba yang demikian halnya itu pada hari kematiannya.
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lalai mengingat-ingat (Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu Yang) Allah (nama-Ku), mereka itulah golongan syaitan” (QS. Al Mujadilah : 19).
BUNYINYA ZIKIR YANG DAPAT DIDENGAR TELINGA
ADALAH HUW-HUW-HUW.
Huw yang wawu di dhammah adalah bunyinya rasa. Adalah Huwiyatu ar Rabbi. Huw yang isinya adalah Rabb (yang dibisikkan lewat telinga kiri sebagaimana yang dilakukan Junjungan Nabi Muhammad SAW ketika membai’at Sayidina Ali Bin Abu Thalib serta para ahlul baitnya).
Huw ini sebenarnya telah ada di dalam surat Al-Ikhlas. Qul Huwa Allahu Ahad.
Qul adalah fiil amar. Artinya perintah yang berlaku sekarang. Huwa adalah dhamir. Artinya sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati mengenai Huwa (mengenai Dia), yakni Allah, adalah satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya tetapi Al-Ghayb.
“Qul innama huwa ilaahun waahidun, wa innani bariun mimma tusyrikuuna” (QS. Al An’am: 19).
Katakanlah bahwa sesungguhnya Huwa (huwiyatu ar Rabbi) adalah ilaahun waahid. Dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).
“Faqul hasbiyallahu laailaaha illa huwa…” (QS. At Taubah: 129).
Arti dan maksudnya: Maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Huwa (huwiyatu ar Rabbi)….”.
Di dalam QS. Fathir ayat 15 Allah berfirman: Yaa ayyuhannasu antumu al-fuqaraau illallah, wallahu Huwa al-ghaniyyu al-hamiidu.
Wahai manusia kamu semua adalah al-faqir (hina, nista, bodoh tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak ada apa-apa dan bahkan tidak ada apa-apanya, karena itu seharusnya kamu semua) berkehendak kepada Allah. Wallahu Huwa adalah mubtada’ dan khabar. Maksudnya Allah itu adalah Huwa (yang tersimpan di dalam rasa hati). Dialah Dzat Yang Maha Kaya Raya, tidak kurang suatu apa dan Maha Terpuji.
Oleh karena itu dengan tegas sekali Allah berfirman dalam QS. Al Isra’ ayat 72: Waman kaana fii hadzihi a’ma fahuwa fi al-akhirati a’ma wa adhallu sabiila.
Dan barang siapa yang di dunia sekarang ini buta (mata hatinya tidak mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya Yang sangat dekat sekali (di dalam rasa hati, meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya) maka di akherat juga buta (mata hatinya) dan lebih sesat jalannya.
Aku kutip dan edit sedikit dari blog PondokSufi. Maaf dan jutaan terima kasih.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan